biarkan aku kembali ke dasar, belajar menghitung satu-dua-tiga, sampai aku menemukan diriku pada hitungan yang ke-seratus. 100 kata, 100 cerita, 100 hari, untuk mencari.

Sabtu, 08 Mei 2010

limadua

Aku baru tiba dari atas jembatan penyebrangan, ketika kulihat semua gerobak, sepeda dan pikulan kaki lima dibawa terburu-buru oleh pemiliknya. Mereka berbondong-bondong melewatiku, berlari berpencar. Aku dapat rasakan ketakutan mereka, dibawa angin menerpa wajahku saat mereka berlari melintasiku.

Tak lama satu-dua orang mengintip ke jalanan yang sedang sedikit padat, ternyata mobil satpol-PP yang berwarna putih kotor mendekat. Dengan segerombol petugas di dalamnya. Mereka melintas tenang-tenang saja, setelah mereka berlalu pedagang pun satu per satu kembali ke tempatnya.

Aku sedih melihatnya, dan bertanya-tanya bagaimana perasaan mereka sesungguhnya, sehari-hari dikejar-kejar, diliputi rasa takut gerobak mereka digulingkan, padahal mungkin itulah hidup mereka sekeluarga.

limasatu

Aku lahir pada hari dimana semua kapitalis diprotes. Aku mendengarkan kakak-kakakku bicara tentangnya, aku belum paham, bahwa mereka membicarakanku.

Aku berdiskusi bagaimana sepatu yang kita beli diproduksi dengan keringat berupah murah. Pulangnya Ibuku mengajakku belanja sepatu, satu sepatu dapat membayar kontrakan rumah, sekolah dan tunjangan hidup pembuat sepatunya beberapa bulan.

Aku bicara tentang racun dari perangkat teknologi, bagaimana itu tak dapat di daur ulang dan beracun. Ayahku menawarkan blackberry seri terbaru.

Aku bicara tentang diet karbon, pesawat boros emisi. Akhir minggu ibuku mengajakku terbang ke Bali, untuk sekedar mandi dan belanja.

Andai kau tahu...di antara segalanya tak pernah mudah untukku.

limapuluh

‘Selamat hari bumi!’ sapa seorang teman.

‘Iya sama-sama’ Facebook pun ramai atributnya.

Aku tak mau kalah, kutulis ‘Bagiku hari bumi setiap hari, menyelamatkan bumi pada setiap napas...’ dan komentar-komentar dan jempol bermunculan.

Semenjak sekitar tiga tahun yang lalu, setiap hari adalah hari bumi bagiku. Sebuah dunia diantarkan pada pangkuanku. Dunia ini memberiku jalan sampai disini, memberiku cita-cita sejauh ini, memberiku semangat selama ini. Aku belajar seperti bayi yang baru belajar bicara, lebih banyak tentang bumi, sedikit lebih dalam daripada teman-temanku di sekolah.

Bicara tentang masa depanku, selalu saja ada seorang yang harus kuberi kecupan. Ia seorang wanita kecil dengan hati dan otak yang besar. Ia mengajarkanku cara menjelaskan mengapa bumi begini mengapa bumi begitu. Ia tersenyum padaku, dan mengantarkanku yang takut-takut pada sekelompok teman yang kini menjadi sahabatku.

Ia menghiburku dan bilang bahwa semua akan baik-baik saja pada sekolompok pemuda yang gagal kuyankinkan untuk bergabung. Ia mengenalkan sebuah dunia baru, yang bagiku adalah sebuah pencerahan. Ia seorang guru yang mengajarkanku 101 Climate Change dan menjawab semua pertanyaanku akan politik Sirkus December. Ia seorang mungil yang menginspirasiku dan setiap kali kupikir aku akan berhenti, aku ingat caranya mengedip menggodaku, dan lalu aku tinggal. Ia seorang yang membuat setiap hariku menjadi hari bumi.

empatsembilan

Ia tertidur lelap dalam dekap ibunya, dibawah terik matahari yang menggila siang itu. Kusentuh perlahan lengan ibunya yang juga terkantuk-kantuk berkeringat. ‘Bu, ini buat anaknya, buat main’ Kusodorkan sebuah tas warna-warni berisi boneka dan beberapa buku.
Matanya tak mungkin kulupa, terkejut sekaligus bahagia. Bukan receh yang ia butuhkan, bukan uang-uang kumal yang dilemparkan ke mangkuk di hadapannya, tapi perhatian sederhana saja.
‘Namanya siapa Bu?’
‘Indah’ Dan aku pun berlalu.
Siang berikutnya, ia sedang tertawa-tawa membaca buku Tiga Babi Kecil.
‘Daah Indah’ Kusapanya, ia terkejut namanya dipanggil.
Ibunya membisiki dan ia pun tersenyum, ‘Daah Kakak! Hati-hati yah!’
Hari itu hatiku sejuk.

empatdelapan

Rasanya seperti keluar dari tubuh untuk beberapa jam saja. Melihat sesosok tubuh gempal yang menari-nari, tertawa-tawa kesenangan, bercerita dalam tiga bahasa sekaligus.

Rasanya nyaman, seperti tidak punya kaki untuk menapak. Tak ada berat tubuh yang harus ditopang, tak ada beban hidup yang harus digendong. Cukup tertawa saja, goyangkan badan sedikit-sedikit, dan semua akan baik-baik saja.
Rasanya lucu, menertawakan ocehan sengau tentang ini-itu, kau tertawa, tapi kau tahu itu kau yang bicara.

Rasanya sakit, ketika isi perutmu sudah keluar, kakimu kembali ke tanah, kepalamu kembali terpasang, bebanmu kembali lagi, semuanya harus kau topang lagi, ketika kau sadar dan gelasmu telah kosong.

empattujuh

‘Dari mana non, jarang main sekarang?’ sapa tukang kue cubit yang tak sengaja berpapasan di stasiun.

‘Dadah Kakak! Ati-ati ya!’ teriak seorang gadis pengemis di jembatan penyebrangan.
‘Baru pulang Non? Sore amat?’ tanya tukang ojek ditikungan.

‘Enggak turun di halte biasa Neng?’ sapa kenek bus yang m embangunkan ketika sampai.

‘Hei Vy, lama enggak makan di bapak deh?’ tanya tukang nasi goreng di depan kantor.

‘Neng, cirengnya masih hangat nih. Gratis deh..’ kata tukang gorengan sambil menyodorkan padaku sepotong gorengan hangat.

Sapaan-sapaan itu kutemukan siang ini di jalan yang sehari-hari kulewati, aku sedih memikirkan betapa aku akan sangat-sangat-sangat merindukannya nanti.

empatenam

Tadinya gaunku satu warna, warna jingga saja, tanpa corak, tanpa gambar, tanpa renda. Dan mereka datang membubuhkan berbagai warna.

Banyak yang berlalu, orang-orang gila dalam hidupku yang tadinya tanpa corak. Banyak yang pergi, orang-orang berharga yang tak mampu kupeluk.

Banyak yang terlupa, orang-orang sederhana tanpa warna mencolok yang telah menuangkan sedikit warna di gaunku.

Banyak orang yang hilang, orang-orang yang kusakiti, tak sengaja kutumpahkan warna di gaun mereka terlalu banyak.

Tapi banyak juga yang tinggal, melukis dengan hati-hati, orang-orang yang kuberi ruang dan terlelap dalam hati.

Kalau aku pergi ke pesta dansa nanti, maukah kau membubuhkan setitik warna saja untukku?